
Pilih jalan sendiri bukan karena paling kuat, tapi karena pernah terlalu percaya. Inilah catatan tentang luka, kemandirian, dan keberanian membuka ruang bagi orang lain.
Jam 02.14 dini hari. Kopi di meja sudah dingin, laptop masih menyala, dan saya duduk dengan pikiran yang berisik.
Baru saja saya menutup panggilan video dari seseorang yang mengajak saya membangun usaha bersama. Idenya seru. Mimpinya besar. Tapi ada sesuatu yang membuat saya ragu. Bukan soal konsep, bukan soal orangnya, tapi soal... saya.
Sudah lama saya berjalan sendiri. Menjadi solopreneur bukan karena tak bisa bekerja sama, tapi karena saya pernah terlalu kecewa. Karena dengan berjalan sendiri, saya tahu—jika gagal, saya hanya perlu menyalahkan satu orang: diri saya sendiri.
Dan malam itu, setelah layar dimatikan, satu pertanyaan kembali mengetuk:
Apakah saya sungguh siap membuka ruang bagi orang lain dalam mimpi yang sudah saya rawat sendirian selama ini?
Tulisan ini saya hadirkan sebagai bagian dari blogcompetition dan cerita cuan 2025. Ini adalah catatan jujur saya di hari ke-5 perjalanan: masih cerita cuan 2025 hari 5.
Solopreneur dan Luka yang DisembunyikanBanyak orang memilih jadi solopreneur karena ingin bebas. Bebas menentukan arah. Bebas mengatur waktu. Bebas dari konflik dan kompromi.
Tapi tak banyak yang bercerita bahwa di balik kebebasan itu, sering ada luka yang tak kelihatan. Termasuk saya.
Saya pernah bermitra. Pernah berbagi visi. Pernah meletakkan harapan. Lalu semuanya perlahan runtuh.
Sejak itu, saya menarik diri. Belajar sendiri. Buka toko sendiri. Jual produk sendiri. Bahkan hal-hal teknis yang sebenarnya bisa didelegasikan, tetap saya tangani sendiri—bukan karena saya ahli, tapi karena saya takut kecewa lagi.
Banyak orang menyebut saya mandiri. Padahal mereka tak tahu, saya sedang bersembunyi di balik rasa takut yang belum selesai.
Solopreneurship adalah perjalanan yang sangat personal. Ini bukan tentang kemandirian, tetapi lebih tentang penyembuhan.
Saya jadi ingat tulisan lama tentang kue—tentang betapa saya lebih nyaman menakar sendiri tepungnya, mengaduk adonannya, memanggangnya hingga harum, dan menghiasnya perlahan-lahan.
Seolah setiap lapisan krim adalah benteng kecil tempat saya menyimpan rasa percaya yang belum utuh. Bukan karena saya ahli, tapi karena saya takut—takut kecewa kalau rasa akhirnya tak seperti bayangan, apalagi jika dibuat oleh tangan selain tangan saya sendiri.
Dari situ saya belajar: kadang kita mengerjakan semuanya sendiri bukan karena kita mampu, tapi karena kita sedang melindungi luka yang belum sembuh.
Bermitra: Keberanian untuk Terluka LagiTapi hidup tidak bisa terus dijalani dalam mode bertahan.
Akan datang masanya ketika kita harus bertanya pada diri sendiri: Apakah saya siap tumbuh, meski itu berarti siap terluka lagi?
Bermitra adalah tentang keberanian memberi ruang. Keberanian berbagi kendali. Keberanian untuk salah. Dan yang paling sulit: keberanian untuk bicara jujur sejak awal.
“Saya tidak bisa, kalau kamu tak bilang.”
“Saya takut, kalau kamu terus mendesak.”
“Saya butuh waktu, kalau kamu ingin buru-buru.”
Mitra bukan soal siapa paling pintar atau paling kuat. Tapi siapa yang cukup dewasa untuk menyebut hal yang tidak enak tanpa saling menghancurkan.
Dan itu… butuh proses.
Bermitra itu seperti berdiri di depan cermin besar yang jujur—ia memantulkan sisi-sisi dirimu yang biasanya kamu sembunyikan di balik senyum atau kesibukan. Dan kadang, bayangan itu lebih jujur dari kata-kata yang pernah kamu ucapkan.
Mana yang Lebih Baik? Sendiri atau Bersama?Ini pertanyaan yang sering muncul:
“Jadi, mendingan kerja sendiri atau bareng orang?”
Sayangnya, tak ada jawaban tunggal.
Solopreneur memberi kebebasan penuh—tapi juga beban penuh. Ia bebas, tapi juga rentan kesepian.
Bermitra memberi dukungan—tapi juga risiko konflik. Ia bisa tumbuh lebih cepat, tapi juga bisa roboh lebih keras.
Jadi pertanyaannya bukan lagi “mana yang lebih baik?”, melainkan:
“Mana yang paling cocok dengan versi dirimu yang sekarang?”
Data Tak Pernah Berbohong: Dua Luka, Dua RisikoHarvard Business Review (2021) mencatat:
65% kemitraan bisnis gagal bukan karena idenya lemah, tapi karena ketidakcocokan nilai dan komunikasi antar pendiri.
FreshBooks (2023) melaporkan:
62% solopreneur mengalami burnout dalam dua tahun pertama akibat beban kerja dan isolasi emosional.
Apa artinya?
Tidak ada jalur yang bebas luka.
Kita hanya perlu memilih luka mana yang sanggup kita rawat.
Bukan soal siapa paling mandiri atau kolaboratif. Tapi siapa yang paling jujur pada kapasitas—dan lukanya—sendiri.
Ajakan di Akhir JalanSaya tidak menulis ini untuk meyakinkanmu jadi solopreneur. Atau menyarankanmu segera cari mitra.
Saya hanya ingin bilang: setiap pilihan ada waktunya. Dan waktu itu… tidak selalu sekarang.
Jika hari ini kamu memilih berjalan sendiri, tak apa. Tapi jangan kunci rapat semua pintu. Biarkan setidaknya satu daun pintu tetap terbuka sedikit—walau hanya setipis celah angin—untuk kemungkinan yang tak terduga dan kehadiran yang mungkin membawa cahaya.
Jika kamu siap membuka hati untuk bermitra, juga tak apa. Tapi pastikan ada ruang untuk bicara dengan jujur—dan terluka dengan tenang.
Karena pada akhirnya, entah sendiri atau bersama, kita semua sedang menuju satu hal yang sama:
Jalan pulang ke versi diri yang paling utuh.