
JAKARTA, - Koreografer dari Bandung, Galuh Pangestri Larashati, merayakan 100 Tahun Pramoedya Ananta Toer dengan ‘menulis ulang’ novel Larasati melalui gerak tubuh enam penari kontemporer berjudul ARA.
Menurut Galuh, pertunjukan ARA tersebut bukan untuk menyampaikan cerita dari novel, melainkan membongkarnya.
“ARA bukan pertunjukan yang datang untuk menyampaikan cerita, melainkan untuk membongkarnya,” kata Galuh dalam konferensi pers di Tjap Sahabat, Bandung, Sabtu (2/8/2025), dalam keterangan tertulis.
“Tidak ada tokoh, tidak ada alur, dan tidak ada keinginan untuk menjelaskan. Yang ada hanyalah tubuh-tubuh yang terus bergerak, menyela, dan menulis,” ujarnya.
Dalam proses koreografi ARA, para penari melakukan pembacaan dekat dan pembacaan berjarak, lalu masing-masing mengambil hal paling relevan dari novel Larasati bagi kehidupan mereka.
Selanjutnya, mereka mendiskusikan dan mencari apa saja yang belum ditulis oleh Pram tentang dunia perempuan.
“Saya memberi karya ini subjudul ‘Chronicle of A Moving Clipping’ karena saya membangun struktur koreografi berdasarkan pandangan para penari tentang Pram, tentang Larasati, tentang revolusi, tentang perempuan, tentang kehidupan. Jadi ini seperti kronik atau kliping,” kata Galuh.
Galuh menyebut karya tersebut sebagai korpografi, berasal dari kata corpus (tubuh) dan graphein (menulis).
Dalam ARA, tubuh bukan alat ilustrasi, melainkan penulis utama yang tidak patuh pada narasi. Tubuh bekerja seperti membaca dan menulis ulang, menciptakan tegangan antara suara dan gestur, antara teks dan napas.
Salah satu penari yang akan tampil, Wening Sari, mengaku dirinya tidak diarahkan oleh koreografer, karena suara dan pikirannya tentang Larasati didengarkan, diolah, dan diserap oleh struktur koreografi yang dibangun oleh Galuh.
“Mbak Galuh tidak pernah memaksakan idenya, dia terus mengajak kami mencari tahu apa sih yang kami cari, gerak seperti apa yang paling pas buat tubuh kami sebagai penari,” ujar Wening.
“ARA buat Mbak Galuh belum tentu sama dengan ARA dalam interpretasiku. Dan dari situ aku belajar mengenali tubuhku sendiri. “Saya merasa akhirnya bisa, ya, menjadi subjek.”
Sementara, Produser karya ini, Zen RS, mengaku mendukung sepenuhnya karya ARA ini karena membuat Pramoedya tidak lagi sakral, namun didekati dengan kritis.
Dalam ARA, kata dia, para penari perempuan tersebut memeriksa karya Pram yang sering diakui sebagai pengarang lelaki feminis, sehingga memungkinkan untuk menampilkan yang tak diutarakan oleh Pramoedya sebagai seorang laki-laki.
Terlebih, kata dia, ini bukan alih wahana, misalnya dari novel jadi naskah teater, atau jadi naskah film. Ini bukan juga interpretasi bebas.
“Karya ARA ini benar-benar interogatif terhadap Pram, sehingga kita bisa menyadari bahwa karya ini memang berakar dari Larasati-nya Pram, tapi hadir dalam bentuk, struktur, logika, dan nilai yang sudah sama sekali berbeda. Ini bentuk penghormatan yang radikal terhadap karya Pram,” ujar Zen.
ARA akan dipentaskan pada Kamis, 7 Agustus 2025 pukul 19.00–21.00 WIB, di Tjap Sahabat, Bandung. Pertunjukan ini bersifat tertutup, khusus untuk undangan dan peserta terdaftar.
Dalam eksekusinya, musik disusun secara live oleh seorang DJ hip hop, menciptakan irama yang mentah dan tidak netral.
Karya ini merupakan inisiatif kolektif tari Tarang Karuna dari Bandung, disutradarai dan dikoreografi oleh Galuh Pangestri Larashati, serta diproduseri oleh jurnalis dan esais Zen RS.
Dramaturg dikerjakan oleh Taufik Darwis dan musik digarap secara independen oleh musisi hiphop, Ways.