SEMARANG, - Dita, orang tua DRP (15), seorang remaja yang diduga menjadi korban salah tangkap oleh Polres Magelang Kota, tidak dapat menaha...

SEMARANG, - Dita, orang tua DRP (15), seorang remaja yang diduga menjadi korban salah tangkap oleh Polres Magelang Kota, tidak dapat menahan tangis saat tiba di Mapolda Jawa Tengah.
Ia rela menempuh perjalanan jauh dari Magelang untuk melaporkan kejadian yang menimpa anaknya.
Selain untuk memulihkan nama baik anaknya, Dita ditemani tim pendamping hukum ingin membuat laporan soal dugaan salah tangkap yang dilakukan oleh Polres Magelang Kota ke Polda Jawa Tengah.
Dita tak kuat berkata banyak soal peristiwa yang membuat rugi anaknya tersebut. Ia hanya menjelaskan bahwa identitas anaknya disebar dengan narasi negatif di sejumlah group.
"Di group teman-teman kelasnya, teman SMP itu," kata Dita sembari mengusap air matanya.
Trauma yang Mendalam
Penasihat hukum korban dari LBH Yogyakarta, Royan Juliazka Chandrajaya, mengungkapkan bahwa DRP mengalami trauma ketika melihat kantor polisi.
"Luka fisik sudah mulai sembuh, tapi yang masih tersisa adalah luka psikis. Ya, dia masih trauma. Masih trauma ketika melihat kantor polisi," kata Royan.
DRP dituduh terlibat dalam aksi demonstrasi yang merusak fasilitas Polres Magelang Kota pada 29 Agustus lalu.
Saat dibawa ke kantor polisi, DRP diduga mengalami penyiksaan, termasuk dicambuk dengan selang, ditampar, ditendang, dan dadanya dipukul hingga ia mengakui perbuatan yang dituduhkan kepadanya.
Sehari setelah dibebaskan, data pribadi DRP, termasuk foto, nama lengkap, asal sekolah, dan alamat rumah, tersebar di grup-grup media sosial dengan keterangan “Data Demo Anarkis yang Diamankan”.
“Anak saya sama sekali tidak ikut demo. Malam itu dia hanya ingin berangkat ke acara puncak 17-an di desa. Temannya ajak COD jaket ke sekitar rindam," kata Dita, orang tua DRP.
Namun, lanjutnya, tiba-tiba anaknya ditangkap oleh pihak polisi dan dibawa ke kantor polisi.
"Besok sore baru dilepas. Anak saya babak belur. Data-datanya disebar di grup-grup whatsapp desa saya dengan tuduhan pelaku demo anarkis. Saya sangat terpukul dan sedih atas kejadian ini, kok bisa polisi seperti itu,” ucap Dita.
Pengaduan ke LBH dan Polda
Orang tua DRP kemudian mengadukan peristiwa ini ke LBH Yogyakarta untuk mendapatkan pendampingan hukum.
Bersama penasihat hukumnya, mereka memutuskan untuk melaporkan kasus tersebut ke Polda Jawa Tengah.
Royan menambahkan bahwa tindakan pihak kepolisian tidak hanya melanggar prosedur dan prinsip hukum pidana, tetapi juga merupakan pelanggaran terhadap hak asasi manusia dan hak-hak anak yang diatur dalam berbagai konvensi internasional dan peraturan perundang-undangan nasional.
"Kasus ini harus menjadi pintu untuk membuka kasus-kasus lain yang bisa saja telah lumrah terjadi di Polres Magelang Kota,” ujarnya.
Proses Laporan Diterima
Kabid Humas Polda Jawa Tengah, Kombes Pol Artanto, mengonfirmasi bahwa laporan tersebut telah diterima.
"Prinsipnya hari ini mereka akan ke SPKT (Sentra Pelayanan Kepolisian Terpadu) untuk menyampaikan laporan tersebut," kata Artanto saat ditemui di kantornya.
Ia menegaskan bahwa penyidik Polda Jawa Tengah akan melakukan pendalaman jika ditemukan bukti-bukti yang kuat.
"Apabila terbukti, ya akan diproses," ujarnya.
Artanto juga menambahkan, penyidik memiliki kewajiban untuk membuktikan laporan tersebut dengan bekerja sama dengan pihak pelapor.
"Ya, monggo silakan lapor," lanjutnya.
Kapolres Magelang Kota AKBP Anita Indah Setyaningrum siap menghadapi laporan itu meski hingga kini belum menerima tembusan resmi terkait laporan tersebut.
“Kami akan tangani secara profesional jika ada aduan tersebut,” ujarnya lewat aplikasi pesan, Selasa (16/9/2025).
Ia membantah personelnya melakukan kekerasan terhadap demonstran.
“Kami tidak melakukan kekerasan terhadap para pengunjuk rasa. Kami ikuti saja proses dari Polda,” katanya.