
PIKIRAN RAKYAT - Anggota Komisi VII DPR Republik Indonesia Ilham Permana menyatakan bahwa konflik antara Iran dan Israel akan berdampak pada biaya produksi industri Indonesia akibat kenaikan harga minyak mentah dunia.
Meskipun demikian, konflik tersebut membuka peluang penting untuk mendorong reformasi menyeluruh di sektor industri nasional.
Menurut Ilham, dampak dari konflik Iran dan Israel sudah sangat terlihat dalam fluktuasi harga minyak mentah dunia yang kembali melonjak. Per 19 Juni 2025, harga minyak Brent berfluktuasi di antara USD 73 hingga USD 92 per barel.
Beberapa analis memperkirakan harga bisa melonjak hingga USD 100 jika Selat Hormuz, yang menangani 30 persen pengiriman minyak global, benar-benar terganggu.
"Lonjakan harga ini akan menghantam biaya produksi industri kita yang sangat tergantung pada energi fosil impor, terutama dari kawasan Timur Tengah," ujar Ilham dalam keterangan tertulisnya yang diterima "PR" pada Senin (23/6/2025) malam.
Di sisi lain, Indeks Manajer Pembelian (PMI) Manufaktur Indonesia juga menunjukkan tekanan serius. Pada April 2025, PMI turun ke level 46,7 atau level terendah dalam empat tahun terakhir.
Itu menandakan kontraksi aktivitas industri. Meskipun pada Mei 2025 sedikit membaik menjadi 47,4, angka tersebut masih berada di bawah ambang batas ekspansi (50), menandakan bahwa industri manufaktur nasional belum sepenuhnya pulih.
"Dengan situasi geopolitik yang makin tidak menentu, bukan tidak mungkin angka PMI akan kembali turun atau stagnan dalam waktu dekat," kata Ilham.
Ilham menganggap, Indonesia harus membangun mekanisme 'cadangan darurat industri' atau sistem tanggap industri nasional atau semacam 'BNPB Industri' untuk merespons disrupsi rantai pasok global.
Menurut laporan UNCTAD Mei 2025, konflik di Timur Tengah dan Laut Merah telah memaksa pengalihan jalur pengiriman Asia–Eropa melalui Tanjung Harapan, menambah waktu tempuh hingga 15 hari dan melipatgandakan biaya kontainer hingga 200 persen.
"Without backup systems and quick responses, our industry could be paralyzed even when market demand remains high," katanya.
Ilham menilai strategi hilirisasi yang telah digagas pemerintah selama ini harus diperdalam. Data Kementerian Investasi mencatat, nilai investasi hilirisasi pada triwulan I 2025 mencapai Rp136,3 triliun atau naik hampir 80 persen dibandingkan tahun sebelumnya.
Namun menurutnya, hilirisasi tidak boleh berhenti pada sektor mineral dan tambang. Pemerintah harus mulai menargetkan sektor manufaktur padat karya seperti tekstil, elektronik, dan makanan minuman, yang menyerap jutaan tenaga kerja dan berkontribusi besar terhadap konsumsi domestik.
Sejalan dengan visi pemerintahan Prabowo-Gibran, Ilham juga menekankan pentingnya mewujudkan ketahanan energi nasional melalui program swasembada energi sebagai bagian dari pilar utama Asta Cita.
Dalam kerangka itu, pemerintah didorong mempercepat transisi menuju energi baru dan terbarukan (EBT), memperluas bauran energi melalui pembangkit energi surya, panas bumi, dan bioenergi, serta memperkuat infrastruktur distribusi energi di daerah tertinggal.
Program tersebut bertujuan tidak hanya untuk mengurangi ketergantungan pada energi impor yang rentan terhadap gejolak geopolitik, tetapi juga untuk memastikan ketersediaan energi yang murah dan berkelanjutan bagi industri dalam negeri.
Dengan cadangan EBT sebesar 437 GW, Indonesia memiliki peluang besar untuk menjadi poros kekuatan energi hijau di kawasan Asia Tenggara.
Ilham sepenuhnya mendukung langkah dan pernyataan Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita (AGK) dalam menanggapi dampak konflik geopolitik Iran-Israel terhadap sektor industri nasional.
Dirinya sepakat dengan Menteri Perindustrian untuk mendorong pemanfaatan skema Local Currency Settlement (LCS) dari Bank Indonesia untuk memitigasi risiko fluktuasi nilai tukar dalam pembelian bahan baku impor.
Skema tersebut sudah berjalan dengan negara-negara mitra seperti China, Jepang, Malaysia, dan Thailand, namun belum dimanfaatkan secara maksimal oleh sektor industri. "Di tengah tekanan terhadap nilai tukar rupiah, ini adalah solusi konkret untuk menstabilkan biaya input produksi,” katanya.
Ilham menekankan bahwa industri tidak bisa lagi dipandang sebagai mesin ekonomi semata. Di tengah krisis global yang berulang, industri adalah pilar ketahanan nasional.
Dia mengingatkan bahwa negara-negara seperti Amerika Serikat, India, Brasil, hingga Turki telah menempatkan industri sebagai alat strategis untuk mempertahankan posisi tawar mereka dalam geopolitik dunia.
"Indonesia juga harus mulai melihat industri sebagai bagian dari sistem pertahanan negara non-militer. Siapa yang bisa menjaga pasokan energi dan pangannya sendiri, akan bertahan. Siapa yang tergantung, akan kalah," katanya.
Ilham juga menyampaikan komitmennya sebagai anggota Komisi VII DPR RI untuk terus memperkuat sinergi dengan pemerintah, khususnya Kementerian Perindustrian dalam merancang kebijakan jangka panjang yang memperkuat kemandirian industri nasional.
He also emphasized the need to strengthen legislative aspects and oversight of the downstream programs, investment incentives, as well as the acceleration of industrial logistics infrastructure development.
"Kita tidak sedang menghadapi badai biasa. Ini adalah gelombang besar perubahan tatanan dunia. Dan Indonesia harus siap jadi jangkar stabilitas kawasan lewat kekuatan industrinya sendiri," ujarnya.