Di Balik Pahat Kayu, Dodi dan Warisan Ukir yang Nyaris Terlupakan

medkomsubang Di sebuah sudut sederhana di stand Kantor Desa Suranenggala Kidul, Kecamatan Suranenggala, Kabupaten Cirebon, terdengar suara ketukan halus dari pahat kayu. Di bawah tenda kecil, seorang pria berkaus oblong, celana pendek, dan topi bundar lusuh tampak sibuk membimbing anak-anak yang tengah memegang pahat dan papan kayu.

Namanya Dodi, warga Suranenggala Lor yang telah lima tahun terakhir ini mencurahkan waktu dan tenaganya untuk sesuatu yang bagi sebagian orang tampak sepele: melestarikan seni ukir kayu khas Cirebon.

Namun bagi Dodi, ini lebih dari sekadar seni. Ini adalah warisan. Sebuah identitas budaya yang kini kian dilupakan, perlahan-lahan menghilang dari ingatan generasi muda.

“Kalau bukan kita, siapa lagi?” ucapnya pelan, sembari mengawasi salah satu anak memahat bentuk pola mega mendung di atas papan.

Warisan yang Ditinggalkan Zaman

Dulu, ukiran kayu menjadi bagian penting dalam kehidupan masyarakat Cirebon. Dari ornamen rumah, furnitur, hingga topeng dan wayang, semuanya merepresentasikan kekayaan budaya lokal yang begitu khas.

Tapi kini, jejak itu mulai pudar. Industri modern menggantikan keindahan tangan-tangan seniman dengan cetakan mesin. Minat generasi muda terhadap ukiran tradisional pun nyaris lenyap.

Merasa tak rela, Dodi mendirikan Komunitas Ukir Bedulan—sebuah ruang belajar yang terbuka untuk siapa saja yang ingin mengenal dan mendalami seni ukir kayu. Di ruang ini, tak ada batasan usia, tak ada biaya, dan tak ada keharusan memiliki bakat bawaan. “Yang penting ada niat untuk belajar,” kata Dodi tegas.

Komunitas ini menjadi oasis kecil bagi anak-anak, remaja, bahkan orang tua yang masih ingin menyentuh warisan budaya mereka sendiri. Dodi percaya, bahwa setiap guratan pahat di atas kayu adalah bentuk perlawanan terhadap lupa.

Jauh sebelum mendirikan komunitas, Dodi pernah menjadi murid. Ia belajar dari seorang maestro ukir asal Cirebon bernama Mas Joko. Bertahun-tahun ia menyerap ilmu, teknik, dan filosofi di balik setiap motif ukiran. Dari gurunya itulah Dodi belajar bahwa mengukir bukan sekadar membentuk kayu, tapi juga membentuk jiwa.

Kini, semua yang ia dapat dari gurunya, ia wariskan kembali. Tanpa pamrih. Tanpa bayaran. “Saya cuma ingin ilmu ini tidak mati. Jangan sampai generasi sekarang hanya tahu motif ukiran dari gambar di Google, tapi tidak tahu proses panjang dan nilai budaya di baliknya,” katanya.

Di komunitasnya, Dodi mengajarkan berbagai motif ukiran. Mulai dari motif mega mendung yang menjadi ikon budaya Cirebon, hingga tokoh-tokoh wayang seperti Semar dan Arjuna. Semua ukiran dibuat dengan alat sederhana—pahat, palu kecil, dan ketekunan.

“Kalau ukuran kecil bisa jadi dalam seminggu, tapi kalau besar bisa sampai dua bulan. Tergantung detail dan ukuran,” jelasnya.

Sebelum memahat, Dodi menggunakan gambar yang dipindai ke plastik sebagai pola dasar. Pola itu kemudian ditempel di atas kayu dan menjadi panduan awal dalam mengukir. Ia pun selalu menyimpan salinan pola, jaga-jaga kalau yang satu rusak. “Karena ini jadi semacam cetakan yang penting,” tambahnya.

Meski tekadnya bulat, jalan yang dilalui Dodi tidak mudah. Lima tahun berjalan, komunitasnya belum mendapat dukungan berarti dari pemerintah daerah. Tak ada bantuan alat, pelatihan, promosi, atau fasilitas pemasaran.

“Padahal kami ini sedang berjuang menyelamatkan budaya. Kalau bukan pemerintah yang mendukung, lalu siapa lagi?” keluh Dodi lirih.

Ia berharap ke depan, pemerintah bisa lebih hadir. Memberikan ruang bagi komunitas seperti miliknya untuk tumbuh. Mulai dari promosi hasil karya ke wisatawan, pelatihan seni ukir di sekolah-sekolah, hingga pemasaran produk kreatif berbasis budaya lokal.

Menjaga Api Budaya

Di tengah zaman serba digital, Dodi tahu bahwa tantangannya tidak ringan. Tapi setiap kali melihat mata anak-anak berbinar saat hasil ukiran mereka jadi, ia merasa bahwa perjuangannya tidak sia-sia.

“Mereka mungkin belum paham makna budaya, tapi dari belajar ukir, mereka belajar sabar, teliti, dan menghargai proses. Itu nilai-nilai yang hilang di dunia yang serba cepat ini,” ujar Dodi sambil tersenyum.

Dodi tidak butuh panggung besar, hanya butuh dukungan agar bara kecil yang ia jaga tetap menyala. Agar generasi mendatang tak hanya tahu budaya dari buku sejarah, tapi juga bisa merasakannya—melalui sentuhan tangan, denting pahat, dan aroma kayu yang terukir pelan-pelan.

Karena bagi Dodi, selama masih ada satu orang yang mau belajar, seni ukir kayu khas Cirebon belum benar-benar punah.

Jika ada yang tertarik untuk melihat lebih dekat karya-karya Komunitas Ukir Bedulan atau ingin belajar langsung, cukup datang ke Suranenggala. Di sana, di balik topi bunder dan pahat kayu, Dodi sedang menjaga warisan yang nyaris hilang—dengan penuh cinta.***

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama