
Kisah Heroik Petugas Polisi New York: Pengorbanan Seorang Imigran Bangladesh
Kota New York berduka atas kepergian Didarul Islam, seorang petugas polisi berusia 36 tahun yang gugur dalam tugas saat melindungi warga dari aksi penembakan massal di sebuah gedung perkantoran di Manhattan. Kisah heroik imigran Muslim asal Bangladesh ini telah menyentuh hati banyak orang.
Insiden tragis tersebut menewaskan empat orang, termasuk Didarul Islam sendiri, seorang veteran kepolisian New York. Islam meninggalkan seorang istri yang sedang mengandung anak ketiga, serta dua putra yang masih kecil.
"Dia mempertaruhkan nyawanya. Dia melakukan pengorbanan terbesar – ditembak dengan darah dingin," kata seorang pejabat kepolisian New York, Komisaris Polisi Jessica Tisch, mengungkapkan rasa kehilangan yang mendalam atas kepergian Islam.
Islam, yang telah bertugas sejak Desember 2021, ditempatkan di kantor polisi ke-47 di Bronx. Nyawanya direnggut oleh Shane Devon Tamura, pelaku penembakan yang berasal dari Las Vegas.
Menurut laporan, Tamura membawa senapan AR ke gedung pencakar langit di 345 Park Avenue, Midtown Manhattan, sekitar pukul 18.40 waktu setempat. Lokasi tersebut sangat ramai dan hanya beberapa blok dari Rockefeller Centre dan Museum of Modern Art.
Awalnya, Tamura terlibat baku tembak dengan seorang petugas di lobi gedung sebelum akhirnya naik ke lantai 32 atau 33. Di sanalah, Didarul Islam menjadi korban dalam upaya menghentikan aksi pelaku.
Saat jenazah Islam dibawa dari Presbyterian/Weill Cornell Medical Center di Manhattan, para petugas memberikan penghormatan terakhir. Beberapa di antara mereka terlihat memegang dada sebagai tanda duka cita dan hormat.
Di kawasan Parkchester, Bronx, rumah dua lantai yang dibeli Islam untuk keluarganya dan orang tuanya menjadi pusat berkumpulnya pelayat. Seorang anak terdengar menangis tersedu-sedu di dalam rumah. Seorang imam masjid setempat datang untuk memberikan dukungan dan menghibur keluarga yang berduka.
Banyak orang, termasuk pengemudi Uber, teman-teman yang mengantar, dan kerabat lainnya, berdatangan ke rumah tersebut. Sementara itu, satu regu polisi berjaga di lokasi kejadian, memastikan keamanan dan ketertiban.
Anak-anak berlarian dan bermain di antara kaki orang tua mereka, mungkin belum sepenuhnya memahami tragedi yang sedang terjadi.
Pelayat terus berdatangan hingga larut malam, membawa makanan dan hidangan panggang yang dibungkus aluminium foil sebagai ungkapan belasungkawa dan dukungan.
Shueb Chowdhury, 49 tahun, seorang penyewa ruang bawah tanah milik Islam, menggambarkan Islam sebagai sosok yang sangat berbakti kepada keluarganya.
"Saya tidak percaya ini," kata Chowdhury dengan nada sedih. "Dia masih sangat muda. Saya melihatnya pagi ini, dan 12 jam kemudian dia meninggal."
Marjanul Karim, 31 tahun, seorang teman dekat keluarga, mengatakan bahwa Islam telah menjadi panutan bagi para pemuda di komunitas Bangladesh, yang beranggotakan lebih dari 100.000 orang di New York City.
Karim mengungkapkan bahwa ia berharap Islam akan menghadiri pernikahannya pada bulan September mendatang.
Menurut Karim, Islam datang sebagai seorang imigran dan memulai karirnya sebagai penjaga keamanan di sebuah sekolah.
"Dia ingin menafkahi keluarganya dan berada di posisi yang lebih baik, dan dia jatuh cinta pada penegakan hukum saat bekerja sebagai petugas keamanan," kata Karim.
Ibu Islam sempat khawatir dengan keputusannya untuk menjadi polisi. "Saat itu, ibu saya bilang kepadanya, 'Kamu meninggalkan pekerjaan aman di sekolah sebagai petugas keamanan, dan menjadi polisi itu berbahaya. Kenapa kamu melakukan itu?'" kenang Karim.
Namun, Islam meyakinkan ibunya bahwa ia ingin meninggalkan warisan bagi keluarganya, sesuatu yang bisa mereka banggakan.
Menurut kerabatnya, Didarul Islam adalah pilar di lingkungannya yang mayoritas penduduknya adalah orang Bangladesh.
Sebagai anggota aktif masjid, ia mendorong para jamaah yang mencari pekerjaan untuk mempertimbangkan bergabung dengan Departemen Kepolisian sebagai petugas lalu lintas, pekerjaan yang menurutnya lebih aman daripada patroli jalan kaki. Di rumah, ia jarang berbicara tentang pekerjaannya.
Salman Ahmed, 21 tahun, seorang saudara ipar Islam, mengatakan bahwa ia mengira Islam bertugas di Polsek 47 dan tidak banyak terlibat dalam baku tembak.
"Dia selalu tampak tenang dalam pekerjaannya, dan dia mencintai pekerjaannya, tetapi kami tidak pernah menyangka hal ini akan terjadi," kata Ahmed. "Dia tidak pernah berbagi, dan kami tidak pernah tahu dia akan terlibat dalam penembakan."
Setelah salat magrib berakhir, semakin banyak warga yang berjalan untuk memberikan penghormatan terakhir. Tetangga sebelahnya, MD Shahjada, mengenang Islam karena sajadah yang diberikannya tahun lalu setelah menunaikan ibadah haji, ibadah haji ke Mekah yang wajib dilakukan oleh setiap Muslim yang mampu.
Ibadah haji ini menjadi kebanggaan bagi Didarul Islam dan merupakan kesempatan langka baginya untuk mengambil cuti kerja. "Itulah dia," kata Shahjada, mengenang kebaikan dan pengorbanan Islam. Kisah Didarul Islam akan terus dikenang sebagai simbol keberanian, pengorbanan, dan pengabdian kepada masyarakat.