
, NTB - Misri Puspita Sari sosok wanita yang menjadi tersangka dalam kasus kematian Brigadir Muhammad Nurhadi alias Brigadir Nurhadi.
Misri selalu disorot karena satu-satunya wanita yang ditetapkan tersangka dalam kasus Brigadir Nurhadi di Gili Trawangan.
Selain itu, Misri juga satu-satunya sipil yang menjadi tersangka. Sedangkan dua tersangka lainnya adalah anggota Polri.
Dua anggota polisi yang menjadi tersangka merupakan atasan korban Brigadir Nurhadi yaitu Kompol I Made Yogi dan Ipda Haris.
Sementara itu, Melanie Putri hanya berstatus sebagai saksi.
Namun, di tengah ramainya kasus meninggalnya Brigadir Nurhadi, Lita Krisna, ibunda Misri, berpendapat bahwa putrinya hanya dijadikan sasaran kesalahan.
Maka dari itu, Lita menaruh harapan agar Misri mendapatkan keadilan yang semestinya.
Sisi Lain Misri
Ternyata, selain permasalahan hukum yang menjeratnya, Misri memiliki sisi kehidupan lain yang jarang diketahui oleh masyarakat luas.
Bagi Lita Krisna, Misri lebih dari sekadar nama yang tercantum sebagai tersangka. Ia adalah anak pertama yang kuat, rela berkorban, dan menjadi penopang keluarga sejak usia muda.
Sejak usia dini, Misri telah menunjukkan kemandiriannya. Lita menceritakan kepada Tribun Jambi bahwa Misri pernah menjadi Duta OJK, berpartisipasi dalam kompetisi kepemimpinan siswa tingkat nasional, dan menjadi perwakilan Provinsi Jambi. Namun, ia memilih untuk bekerja keras demi menghidupi keluarganya, terutama setelah ayahnya wafat.
Mengorbankan kesempatan meraih beasiswa demi membiayai pendidikan adik.
Sebagai anak sulung dari enam bersaudara, Misri sudah harus mengemban tanggung jawab yang tidak ringan sejak kecil.
Di saat teman-teman seusianya sibuk meraih impian untuk berkuliah dan mendapatkan beasiswa, Misri malah mengambil jalur yang tidak biasa.
Dia tidak mengambil kesempatan beasiswa itu dan memilih untuk bekerja guna mendukung biaya sekolah adik-adiknya.
Menurutnya, pendidikan tinggi adalah yang terbaik bagi adik-adiknya. Lita mengingat, ia ikhlas bekerja banting tulang dari pagi hingga malam demi kelangsungan hidup keluarganya.
Meskipun sudah pergi bekerja di Jakarta, Misri tidak pernah putus komunikasi dengan keluarganya.
Setiap hari, ia tak pernah absen menghubungi ibunya melalui telepon.
Saat menerima tawaran kerja di Lombok, Misri tidak langsung memutuskan. Ia tetap meminta izin dan persetujuan dari orang lain.
"Ia menelepon untuk meminta saran. Menurutnya, hasilnya cukup untuk membiayai pendidikan TK dan perkuliahan adik-adiknya. Oleh karena itu, saya memberikan izin," kata Lita.
Akan tetapi, segalanya menjadi berbeda semenjak berita tentang penetapan status tersangka muncul.
Lita mengaku kaget bukan kepalang ketika menerima surat pemanggilan dari kepolisian yang dikirim lewat jasa ekspedisi, bukan langsung oleh aparat.
“Kami tahu dari surat yang diantar ekspedisi. Itu pun diterima oleh tante Misri. Saya bingung, ini kasus besar, kenapa prosedurnya seperti itu?” katanya.
Tangis di Ujung Telepon, Lalu Hilang Kontak
Tidak lama berselang, Misri sempat menelepon ibunya.
Suaranya terdengar gemetar, penuh tangis.
Di ujung telepon, ia menyampaikan kabar bahwa dirinya telah resmi ditetapkan sebagai tersangka.
“Misri bilang, dia cuma nolong korban. Tapi sekarang dia yang kena. Saya bilang, kalau memang tidak bersalah, hadapi dengan kepala tegak. Tapi setelah itu, HP-nya disita. Sekarang saya hanya bisa komunikasi lewat pengacaranya,” tutur Lita dengan mata berkaca-kaca.
Misri Jadi Tumbal?
Lita menilai sorotan media dan aparat terlalu fokus kepada anaknya, sementara dua tersangka lain tidak mendapatkan eksposur serupa.
Ia mempertanyakan mengapa hanya foto Misri dan Kompol I Made Yogi yang tersebar luas di media, sementara satu tersangka lain, Ipda Haris, nyaris tak terdengar.
“Kenapa hanya anak saya dan Kompol Yogi yang fotonya beredar? Padahal Ipda Haris juga tersangka. Jangan jadikan anak saya tumbal!” tegasnya.
Ia juga meragukan kemampuan fisik Misri untuk melakukan kekerasan seperti yang digambarkan dalam kondisi jasad Brigadir Nurhadi.
“Saya lihat di berita, lehernya patah, lidah retak, memar di sekujur tubuh. Badan Misri kecil, bagaimana mungkin dia bisa melakukan itu sendirian?” ujarnya heran.
Kini, di tengah tekanan psikologis dan keterbatasan ekonomi, Lita hanya bisa berharap keadilan berpihak pada kebenaran.
Ia ingin proses hukum dijalankan secara transparan, tanpa memihak dan tanpa pengorbanan sepihak.
“Tolong usut secara adil. Jangan hanya anak saya yang dijadikan kambing hitam. Semua tersangka harus diperlakukan setara,” pintanya lirih.
Lita, yang merupakan penduduk Jambi, juga mengharapkan adanya kepedulian dari pemerintah setempat.
Dia menekankan bahwa Misri pernah membuat Provinsi Jambi bangga melalui berbagai pencapaiannya.
"Aku sangat ingin mengunjungi Misri di Lombok. Sayangnya, aku tidak punya cukup uang. Aku hanya bisa memanjatkan doa dan menantikan uluran tangan," ujarnya.
( /Tribunnews.com )