Mengapa Hubungan Trump dan Putin Memburuk? Ini Analisis Pengamat Rusia

MOSKWA, – Hubungan antara Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump dan Presiden Rusia Vladimir Putin memasuki babak baru yang lebih tegang.

Media Rusia menggambarkan dinamika ini dengan analogi yang dramatis, yakni dua lokomotif yang melaju kencang ke arah yang sama tanpa niat untuk berhenti.

"Tabrakan langsung tampaknya tak terelakkan," tulis harian Moskovsky Komsomolets, seperti dikutip dalam edisi terbarunya.

“Lokomotif Trump dan lokomotif Putin melaju kencang menuju satu sama lain. Dan keduanya tidak akan berhenti atau mundur,” lanjut laporan tersebut.

Putin digambarkan sebagai lokomotif yang terus maju dengan “Operasi Militer Khusus”, yakni invasi Rusia ke Ukraina. Hingga kini, Presiden Rusia itu belum menunjukkan tanda-tanda akan menghentikan konflik atau menyepakati gencatan senjata jangka panjang.

Sementara itu, Trump meningkatkan tekanan terhadap Moskwa dengan menetapkan tenggat waktu untuk mengakhiri perang, mengancam sanksi tambahan, hingga menerapkan tarif tinggi bagi mitra dagang Rusia seperti India dan China.

Bahkan, Trump mengeklaim telah memposisikan dua kapal selam nuklir AS lebih dekat ke wilayah Rusia.

Ketegangan ini memunculkan pertanyaan: apakah Gedung Putih benar-benar menuju konfrontasi langsung dengan Kremlin? Atau, masihkah ada ruang diplomasi?

Hubungan yang awalnya hangat

Sebagaimana diberitakan BBC pada Selasa (5/8/2025), pada awal masa jabatan keduanya, hubungan antara Trump dan Putin sempat menunjukkan sinyal positif.

Pada Februari 2025, AS bahkan sempat berpihak pada Rusia dalam sidang Perserikatan Bangsa-Bangsa, menentang resolusi Eropa yang mengecam agresi Rusia di Ukraina.

Kala itu, suasana tampak bersahabat. Kedua pemimpin berbicara lewat sambungan telepon dan menyampaikan keinginan untuk saling berkunjung. Isyarat pertemuan tingkat tinggi pun sempat mengemuka.

Trump juga sempat mengalihkan tekanan dari Moskwa ke Kyiv, dan justru berseteru dengan sekutu tradisional Amerika seperti Kanada dan Denmark. Retorika pejabat AS pun kala itu cukup tajam terhadap NATO dan para pemimpin Eropa.

"Amerika sekarang memiliki lebih banyak kesamaan dengan Rusia daripada Washington dengan Brussels atau dengan Kyiv," ujar Konstantin Blokhin, analis dari Pusat Studi Keamanan Akademi Ilmu Pengetahuan Rusia, kepada surat kabar Izvestia pada Maret lalu.

Surat kabar yang sama bahkan menulis dengan nada optimis, “Para pendukung Trump adalah kaum revolusioner. Mereka adalah perusak sistem. Mereka hanya dapat didukung dalam hal ini. Persatuan Barat telah sirna”.

Kala itu, Steve Witkoff, utusan khusus Trump, menjadi tamu tetap di Rusia. Ia tercatat mengunjungi Moskwa empat kali dalam dua bulan dan mengadakan pertemuan panjang dengan Vladimir Putin.

Dalam salah satu pertemuan, Putin memberikan potret Trump sebagai hadiah untuk dibawa ke Gedung Putih. Trump dikabarkan tersentuh oleh isyarat tersebut.

Namun, harapan Trump tidak berhenti pada gestur diplomatik. Ia menginginkan gencatan senjata komprehensif tanpa syarat dari pihak Rusia, sesuatu yang belum juga terwujud.

Trump semakin frustrasi

Putin, yang kini disebut telah menguasai inisiatif di medan perang, belum menunjukkan kesediaan untuk menghentikan pertempuran. Meski mengaku terbuka terhadap solusi diplomatik, ia tetap bertahan pada pendekatan militer.

Kondisi ini membuat Trump mulai frustrasi.

Dalam beberapa pekan terakhir, Trump mengecam serangan Rusia di kota-kota Ukraina sebagai tindakan “menjijikkan” dan “memalukan”. Ia juga menuding Putin “berbicara omong kosong” soal Ukraina.

Trump lantas mengeluarkan ultimatum 50 hari kepada Putin untuk mengakhiri perang, yang kemudian dipersingkat menjadi 10 hari. Tenggat waktu itu akan berakhir akhir pekan ini, namun belum ada tanda bahwa Putin akan menuruti tekanan Washington.

Namun, apakah tekanan itu sungguh dirasakan oleh Putin?

"Karena Donald Trump telah mengubah begitu banyak tenggat waktu dan ia telah memutarnya ke sana ke mari, saya rasa Putin tidak menganggapnya serius," ujar Nina Khrushcheva, profesor hubungan internasional di The New School, New York City.

"Putin akan terus berjuang selama mungkin, kecuali Ukraina menyatakan menyerah. Ia mungkin percaya bahwa dirinya sedang mewujudkan mimpi para tsar Rusia dan para pemimpin Soviet seperti Stalin, yakni menunjukkan kepada Barat bahwa Rusia tidak bisa diperlakukan dengan tidak hormat," ujarnya menambahkan.

Masih ada peluang diplomasi

Meski narasi publik menyiratkan konfrontasi, peluang tercapainya kesepakatan belum sepenuhnya tertutup.

Trump masih memandang dirinya sebagai pembuat kesepakatan ulung dan belum menyerah untuk mencapai titik temu dengan Putin.

Utusannya, Steve Witkoff, dijadwalkan kembali mengunjungi Rusia pekan ini untuk bertemu langsung dengan Putin. Meskipun isi pembicaraan tidak diungkap ke publik, sejumlah analis di Moskwa memperkirakan akan ada tawaran kerja sama, bukan hanya ancaman sanksi.

Pernyataan Trump pada akhir pekan lalu pun menunjukkan sinyal serupa. Ia menyebut bahwa Rusia cukup pandai menghindari sanksi, yang ditafsirkan sejumlah pihak sebagai pembuka ruang negosiasi.

Ivan Loshkarev, pengajar teori politik di Universitas MGIMO Moskwa, menyebut bahwa Witkoff kemungkinan membawa tawaran ekonomi konkret sebagai imbalan atas tercapainya kesepakatan damai.

Namun, tantangan tetap besar.

Hingga kini, Putin belum bergeser dari tuntutannya yang mencakup pengakuan wilayah pendudukan, status netral Ukraina, dan pembatasan kekuatan militer negara tersebut di masa depan.

Trump menginginkan kesepakatan segera. Sementara Putin tetap mengejar kemenangan penuh.

Apakah dua lokomotif ini akan bertabrakan? Atau akan menemukan rel baru menuju penyelesaian damai?

Hanya waktu yang bisa menjawabnya.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama