JAKARTA, - Edi Sarwono, seorang Panitera Perdata di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel), mengakui bahwa ia membuang telepon gengga...

JAKARTA, - Edi Sarwono, seorang Panitera Perdata di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel), mengakui bahwa ia membuang telepon genggamnya karena dilanda kepanikan usai penangkapan Muhammad Arif Nuryanta, mantan Ketua PN Jaksel, oleh Kejaksaan Agung.
Informasi ini muncul ketika Edi diperiksa sebagai saksi dalam persidangan kasus dugaan penyuapan terhadap hakim yang memberikan putusan *onslag* atau putusan bebas kepada tiga perusahaan.crude palm oil (CPO).
“Kemudian saudara buang handphone "Mengapa dibuang ke sungai dekat lapangan golf Suvarna? Apakah Anda merasa takut?" tanya seorang Jaksa Penuntut Umum (JPU) dalam persidangan di Pengadilan Tipikor, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, hari Rabu (17 September 2025).
Mulanya, Edi menyatakan bahwa dirinya tidak merasa takut, melainkan lebih kepada perasaan panik setelah mendengar kabar penangkapan Arif terkait kasus penyuapan.
Terungkap bahwa Arif ditangkap pada tanggal 12 April 2025.
"Waktu itu, saya berencana menghubungi rumah, menelepon istri dan anak, tapi tidak bisa sejak pagi, Pak. Bersamaan dengan itu, Pak Arif dijemput. Sontak, saya sangat panik, Pak," ujar Edi.
Namun, ketika menceritakan bagaimana ia menyingkirkan iPhone 14 tersebut, Edi menyatakan ketakutannya dan akhirnya mengeluarkan kartu SIM lalu membuang perangkat itu ke sungai.
"Waktu itu, saya benar-benar ketakutan. Nomornya langsung saya hapus dan saya buang," ujar Edi.
Jaksa terus menanyai Edi mengenai alasannya membuat ponsel tersebut.
Terlebih, Edi dan Arif saat itu sama-sama bekerja di PN Jaksel.
“Kan saudara berinteraksi dengan terdakwa Pak Arif? Maksudnya komunikasi lewat WhatsApp, telepon sering dengan Pak Arif atau Pak Wahyu Gunawan?” tanya jaksa.
Edi mengaku, komunikasi dengan Arif tidak dilakukan dengan ponsel yang dibuangnya tadi, tetapi melalui gawai yang lain.
Edi mengatakan, saat itu pikirannya sudah kacau sehingga tidak bisa mengambil keputusan yang masuk akal.
“Pikiran sudah kalut, Pak,” kata dia.
Edi mengaku salah sudah membuang ponsel itu.
Dia memastikan bahwa di dalam ponsel yang telah dibuangnya, tidak terdapat percakapan apa pun yang berkaitan dengan transfer dana dari Arif Nuryanta.
Edi mengakui kejadian pembuangan ponsel tersebut ketika diperiksa oleh tim penyidik dari Kejaksaan Agung.
Dalam kasus ini, jaksa penuntut umum menuduh lima hakim dan staf pengadilan telah menerima sogokan dari pengacara yang mewakili tiga perusahaan kelapa sawit. Suap tersebut diduga bertujuan agar para terdakwa divonis tidak bersalah dalam perkara korupsi yang berhubungan dengan ekspor CPO.
Secara lebih detail, mantan Wakil Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Muhammad Arif Nuryanta, diduga menerima suap sebesar Rp 15,7 miliar; sementara Wahyu Gunawan, yang dulunya menjabat sebagai panitera muda di Pengadilan Negeri Jakarta Utara dan kini nonaktif, dituduh menerima Rp 2,4 miliar.
Di sisi lain, Djuyamto, yang menjabat sebagai ketua majelis hakim, mendapatkan suap sebesar Rp 9,5 miliar. Dua hakim lainnya, yaitu Ali Muhtarom dan Agam Syarif Baharudin, masing-masing menerima Rp 6,2 miliar.
Tiga perusahaan besar tersebut meliputi Permata Hijau Group, yang di dalamnya terdapat PT Nagamas Palmoil Lestari, PT Pelita Agung Agrindustri, PT Nubika Jaya, PT Permata Hijau Palm Oleo, dan PT Permata Hijau Sawit.
Selanjutnya, ada Wilmar Group yang mencakup PT Multimas Nabati Asahan, PT Multi Nabati Sulawesi, PT Sinar Alam Permai, PT Wilmar Bioenergi Indonesia, dan PT Wilmar Nabati Indonesia.
Kemudian, ada Musim Mas Group yang mencakup PT Musim Mas, PT Intibenua Perkasatama, PT Mikie Oleo Nabati Industri, PT Agro Makmur Raya, PT Musim Mas-Fuji, PT Megasurya Mas, dan PT Wira Inno Mas.
Pada akhirnya, ketiga korporasi itu dinyatakan tidak bersalah oleh majelis hakim.