- Beberapa hari terakhir, masyarakat Indonesia, khususnya kalangan santri dan pesantren, digemparkan oleh tayangan program televisi Trans7 ...
- Beberapa hari terakhir, masyarakat Indonesia, khususnya kalangan santri dan pesantren, digemparkan oleh tayangan program televisi Trans7 yang menyinggung kehidupan pesantren dan para kiai. Dalam tayangan tersebut, ditampilkan narasi dan potongan suasana pondok pesantren Lirboyo yang menggambarkan kiai sebagai sosok kaya raya yang menerima amplop dari umatnya, sementara santri digambarkan secara tidak pantas dengan perilaku yang merendahkan. Potongan adegan dan narasi tersebut memicu kemarahan luas di kalangan umat Islam, terutama para santri dan alumni pondok pesantren, terutama para alumni Lirboyo.
Bagi masyarakat pesantren, tayangan itu bukan hanya bentuk hiburan yang gagal, melainkan sebuah penghinaan terhadap nilai dan adab yang sudah dijaga turun-temurun.
Tradisi sowan, mencium tangan kiai, dan menghormati guru adalah bagian dari warisan spiritual Islam Nusantara yang sarat makna.
Karena itu, ketika tayangan tersebut seolah menjadikannya bahan sindiran, banyak pihak menilai hal itu sebagai bentuk pelecehan terhadap marwah pesantren dan kiai.
Reaksi keras pun bermunculan dari berbagai lapisan masyarakat. Tagar BoikotTrans7 membanjiri media sosial, disertai dengan seruan untuk menuntut permintaan maaf secara terbuka.
Tak hanya masyarakat umum, para ulama, pengasuh pondok pesantren, dan organisasi Islam turut bersuara lantang, menyatakan dukungan terhadap gerakan boikot sebagai bentuk pembelaan terhadap kehormatan dunia pesantren.
Para Ulama dan Organisasi yang Turun Menyuarakan Boikot
1. Gus Ahmad Kafabih
Pengurus Pondok Pesantren Lirboyo Kediri ini menjadi salah satu sosok yang pertama kali menyuarakan keberatan terhadap tayangan tersebut.
Ia menilai, bahwa framing terhadap pesantren sudah melampaui batas kewajaran.
Menurutnya, dunia pesantren telah menjadi bagian penting dari peradaban Islam di Indonesia, dan tidak pantas dijadikan bahan olok-olok.
Gus Ahmad juga mendukung langkah hukum yang diambil oleh para santri dan alumni untuk menuntut pertanggungjawaban moral dari pihak televisi.
2. RMI PBNU (Rabithah Ma’ahid Islamiyah)
Sebagai lembaga yang menaungi ribuan pesantren di Indonesia, RMI PBNU dengan tegas mengecam tayangan tersebut.
Mereka menilai isi program itu mengandung unsur fitnah, merusak citra kiai, serta menyesatkan publik tentang kehidupan pesantren.
RMI menuntut agar pihak stasiun televisi memberikan permintaan maaf secara terbuka dan menghentikan tayangan serupa yang tidak menghormati nilai-nilai keislaman.
3. IKA BAKTI (Ikatan Alumni Tribakti Lirboyo)
Para alumni Pondok Tribakti Lirboyo juga mengeluarkan seruan boikot. Dalam pernyataannya, mereka menegaskan, bahwa kiai adalah sosok mulia yang telah berjuang sepanjang hidup untuk mendidik umat.
Mereka menilai, bahwa narasi yang ditayangkan oleh stasiun televisi tersebut telah melukai perasaan ribuan santri dan alumni di seluruh Indonesia.
4. GP Ansor
Organisasi kepemudaan Nahdlatul Ulama ini menyerukan sikap tegas agar tayangan yang dianggap menghina ulama tidak dibiarkan.
Mereka menilai boikot menjadi langkah moral untuk menegur pihak televisi sekaligus melindungi kehormatan pesantren.
GP Ansor juga meminta agar permintaan maaf disampaikan secara langsung di layar televisi, sebagaimana tayangan yang telah menyinggung masyarakat pesantren.
5. Forsila (Forum Silaturahmi Guru Al-Qur’an Malang Raya)
Forum ini menyatakan, bahwa isi tayangan tersebut mencerminkan ketidaktahuan terhadap dunia pesantren.
Menurut mereka, seorang kiai tidak diukur dari harta benda, melainkan dari ilmu dan pengabdiannya kepada umat.
Forsila juga mengajak para guru Al-Qur’an dan masyarakat Muslim untuk berhenti mendukung stasiun televisi yang merendahkan simbol keagamaan.
6. Gus Rivqy Abdul Halim dan DKP Panji Bangsa
Sebagai tokoh muda Nahdliyin, Gus Rivqy menyerukan agar umat Islam bersatu membela kehormatan para kiai.
Ia menegaskan, bahwa tayangan yang merendahkan kiai adalah bentuk serangan terhadap moralitas bangsa.
Ia juga mengimbau masyarakat agar tidak hanya memboikot, tetapi turut mendorong perbaikan etika media dan literasi publik.
7. Para Kiai Jawa Timur
Sejumlah kiai kharismatik di Jawa Timur juga turut menyampaikan pesan menyejukkan di tengah gelombang boikot.
Mereka mengingatkan agar umat Islam tetap menjaga adab dalam menyampaikan kritik, tetapi juga tegas dalam mempertahankan marwah pesantren.
Para kiai tersebut menegaskan, bahwa persoalan ini bukan sekadar soal media, tetapi tentang menjaga kehormatan ilmu dan guru.
Makna Gerakan Boikot
Aksi boikot yang dilakukan oleh kalangan pesantren bukan hanya simbol perlawanan, melainkan bentuk solidaritas dan cinta terhadap para guru.
Bagi mereka, kiai bukan sekadar figur agama, tetapi juga pilar moral bangsa.
Dengan membela kehormatan kiai, para santri sesungguhnya sedang menjaga martabat ilmu dan tradisi Islam di Indonesia.
Gerakan ini juga menjadi pengingat bagi dunia media agar lebih berhati-hati dalam mengangkat tema-tema sensitif, terutama yang berkaitan dengan agama.
Kebebasan berekspresi seharusnya berjalan beriringan dengan tanggung jawab moral dan etika jurnalistik.
Namun, boikot bukan berarti menutup ruang dialog. Banyak ulama berharap agar kasus ini menjadi pelajaran bagi semua pihak untuk saling memahami.
Dunia pesantren terbuka untuk kritik, asalkan disampaikan dengan adab dan keilmuan, bukan dengan nada merendahkan.***