"Kita hidup untuk bermanfaat, bukan memanfaatkan apalagi dimanfaatkan" (anonim) Manusia dianugerahi akal, tenaga, dan kesehatan s...
"Kita hidup untuk bermanfaat, bukan memanfaatkan apalagi dimanfaatkan" (anonim)
Manusia dianugerahi akal, tenaga, dan kesehatan sebagai modal berharga untuk menjalani kehidupan dan menghadapi berbagai tantangan. Dengan karunia ini, seharusnya tidak ada alasan bagi seseorang untuk menyerah pada keadaan atau hanya menanti uluran tangan orang lain. Namun, ironisnya, ada saja individu yang memilih jalan pintas, yakni menggantungkan nasib pada orang lain, bahkan sampai membuat orang lain merasa terbebani.
Perilaku seperti mengemis, terus-menerus bergantung pada orang tua, memanfaatkan saudara, atau kerap menyusahkan tetangga, tidak hanya melemahkan diri sendiri tetapi juga berpotensi merenggangkan hubungan antar sesama.
Setiap orang pasti memiliki keinginan untuk memberikan kontribusi positif dan bermanfaat bagi orang lain. Akan tetapi, konsep bermanfaat tidaklah sama dengan membiarkan diri sendiri dieksploitasi. Memberikan bantuan adalah tindakan mulia yang seharusnya lahir dari ketulusan hati. Namun, bagaimana jika bantuan tersebut justru berubah menjadi sebuah tuntutan? Apakah keikhlasan masih dapat dipertahankan?
Ketika permintaan bantuan menjadi semakin berlebihan, disampaikan dengan nada menyindir, atau bahkan disertai dengan paksaan terselubung, makna kebaikan dapat berubah menjadi sebuah beban yang berat. Setiap individu memiliki privasi, tanggung jawab, serta masa-masa sulitnya masing-masing. Tidak semua orang memiliki kapasitas untuk membantu setiap saat, dan hal tersebut adalah sesuatu yang sangat wajar.
Pada dasarnya, individu yang paling bertanggung jawab atas kehidupan seseorang adalah dirinya sendiri. Bukan orang tua, bukan saudara, apalagi tetangga.
Dalam interaksi sehari-hari, tidak dapat dipungkiri bahwa kita kerap menyaksikan berbagai sikap dan perilaku yang kurang menyenangkan di lingkungan sekitar. Sikap-sikap ini bisa menjadi cerminan agar kita tidak tergolong dalam kelompok individu yang kerap merepotkan orang lain.
Menumpang yang Berujung Menyita Waktu
Seorang tetangga yang dikenal baik hati pernah menawarkan bantuan kepada anak tetangganya. Karena rute perjalanan menuju sekolah searah dengan perjalanan kerjanya, ia bersedia mengantarkan anak tersebut dengan sepeda motornya. Awalnya, tawaran ini terasa ringan karena hanya bersifat insidental. Namun, seiring waktu, kebiasaan tersebut berubah menjadi sebuah kewajiban yang tak terucapkan. Orang tua sang anak justru terkesan lepas tangan sepenuhnya. Proses mengantar anak ke sekolah pun menjadi tugas harian sang tetangga selama bertahun-tahun.
Setiap pagi, ketika tetangga tersebut masih ingin menikmati secangkir kopi paginya, sang anak sudah berdiri menunggu di depan rumah. Sambil memanggil, "Om... ayok berangkat!" dengan raut wajah yang menunjukkan kekhawatiran akan terlambat. Akibatnya, sang tetangga terpaksa bergegas berangkat, tanpa sempat bersantai, bahkan lebih memikirkan kewajiban mengantar anak tersebut daripada urusan pribadinya dan keluarganya yang mungkin masih ingin bercengkerama di pagi hari. Sementara itu, orang tua sang anak? Mereka menjalani aktivitas harian dengan santai, seperti menyapu, mengepel, menyiram tanaman, bahkan ada yang kembali tidur.
Padahal, orang tua anak tersebut lengkap, memiliki kendaraan sendiri, dan seharusnya menjadi pihak yang bertanggung jawab penuh untuk mengantar anak mereka ke sekolah. Terkadang, mereka beralasan, "Kan sekalian lewat." Namun, perlu disadari bahwa "sekalian lewat" pun tetap membutuhkan alokasi waktu, perhatian, dan energi. Ini bukanlah sesuatu yang bisa dipaksakan setiap hari tanpa menimbulkan beban.
Meminjam Uang, Lalu Menghakimi
Ada kalanya seseorang terlilit utang, misalnya cicilan mobil, hingga didatangi penagih utang. Dalam kepanikan, ia meminjam uang kepada tetangganya. Namun, ketika sang tetangga menyatakan tidak memiliki uang, ia justru merespons dengan nada menyalahkan:
"Masak baru tanggal segini sudah tidak punya uang? Bukannya baru gajian?"
Coba bayangkan situasinya. Di saat ia sangat membutuhkan pertolongan, justru ia yang balik menghakimi. Ini bukan sekadar masalah kekurangan rezeki, melainkan indikasi dari kurangnya adab dan empati.
Masih banyak contoh lain di mana seseorang hanya mementingkan kemudahannya sendiri tanpa mempertimbangkan perasaan orang lain. Padahal, setiap individu memiliki beban dan kebutuhan yang sama pentingnya.
Mulailah Berhenti Bergantung, dan Berani Membesarkan Diri
Tidak ada manusia yang hidup tanpa menghadapi kesulitan. Namun, ketika kita membiasakan diri untuk bersandar pada orang lain, kita secara perlahan membuat diri sendiri menjadi lemah. Kita gagal melatih akal, tenaga, dan kesabaran yang telah dianugerahkan oleh Tuhan.
Belajarlah untuk menyelesaikan masalah dengan kemampuan diri sendiri. Sandarkanlah hati kepada Tuhan, lalu gerakkan tubuh dan pikiran untuk mencari solusi. Jika memang benar-benar membutuhkan bantuan, mintalah dengan cara yang baik, tanpa menuntut, tanpa menyindir, dan selalu siap untuk menerima jawaban "tidak".
Belajarlah Menolak dengan Cara yang Baik
Tidak semua permintaan harus selalu dipenuhi. Tidak semua ajakan harus selalu diiyakan. Terkadang, menjaga diri sendiri sama pentingnya dengan memberikan pertolongan kepada orang lain.
Belajarlah untuk mengucapkan kalimat-kalimat seperti:
- "Maaf, saya tidak bisa hari ini."
- "Saya sedang tidak memiliki kemampuan untuk membantu saat ini."
- "Saya ingin membantu, namun saya juga memiliki tanggung jawab lain yang harus diselesaikan."
- "Tidak, saya tidak bisa."
Menolak permintaan bukan berarti Anda adalah orang jahat. Justru sebaliknya, itu adalah bentuk penghargaan terhadap diri sendiri dan pengakuan atas batas kemampuan Anda. Orang yang benar-benar memiliki empati akan memahami penolakan Anda tanpa merasa tersakiti. Sebaliknya, mereka yang menjadi marah atau tersinggung biasanya memang memiliki niat untuk memanfaatkan sejak awal.
Akhiri Kebiasaan Merepotkan, Perkuat Silaturahmi
Jangan sampai kita menciptakan jurang pemisah dengan tetangga atau saudara hanya karena kebiasaan untuk selalu merepotkan. Jagalah hubungan baik dengan tidak membebani orang lain. Jadilah pribadi yang mandiri, berusaha sekuat tenaga, dan tahu kapan saatnya untuk meminta tolong dengan sopan.
Kehidupan akan terasa jauh lebih ringan ketika kita berusaha secara mandiri, bersyukur atas kemampuan yang dimiliki, dan menggunakan bantuan orang lain hanya ketika benar-benar dalam kondisi yang mendesak.
Karena pada akhirnya, hidup yang bermakna adalah hidup yang memberikan manfaat, bukan hidup yang menjadi beban bagi orang lain.