Ringkasan Berita: LBH APIK NTT mengumpulkan aparat penegak hukum (Polisi, Jaksa, Hakim, Advokat), akademisi, dan aktivis untuk membahas RK...

Ringkasan Berita:
- LBH APIK NTT mengumpulkan aparat penegak hukum (Polisi, Jaksa, Hakim, Advokat), akademisi, dan aktivis untuk membahas RKUHAP yang akan berlaku mulai Januari 2026.
- Direktur LBH APIK NTT, Ansy Rihi Dara, menilai RKUHAP belum mengakomodir hak-hak kelompok rentan, khususnya perempuan dan anak.
- Adanya assessment kerentanan dan dukungan fasilitas bagi perempuan dan penyandang disabilitas di setiap tahap peradilan.
POS-KUPANG.COM, KUPANG - LBH Apik NTT mengumpulkan sejumlah aparat penegak hukum (APH) mulai dari Polisi, Jaksa, Hakim, termasuk Advokat, pengacara, UPTD PPA, akademisi dan aktivis untuk mendiskusikan RKUHAP yang akan disahkan awal tahun 2025 lalu.
Direktris LBH APIK NTT, Ansy Rihi Dara mengatakan, keresahan APH terkait rencana pengesahan RKUHAP itu menandakan bahwa semua pihak sangat mencintai bangsa Indonesia
Hal ini disampaikan Ansi dalam Diskusi Komprehensif Dampak Pengesahan KUHAP bagi Advokat dan Aparat Penegak Hukum lainnya dalam Pemberian Bantuan Hukum, Rabu (10/12), di Neo Aston Kupang.
"Kita ingin memastikan bahwa dalam proses penanganan hukum, saya kira kita tidak bisa lepas dari aspek substansi, struktur, dan kultur sebagai sebuah sisi hukum yang kita ingin memastikan semuanya inklusi. Karena kalau merucuk dari Undang-Undang 1981 tentang KUHAP yang lama itu saya kira seturut dengan perkembangan zaman memang perlu untuk direvisi. Tapi apakah revisi itu sudah menjawab kebutuhan masyarakat dari aspek politik, bagaimana juga kita melihat kepentingan-kepentingan masyarakat rentan, khususnya perempuan dan anak, itu juga terakomodir atau tidak," kata Ansy.
Terkait isi dari RKUHAP itu menjadi polemik karena RKUHAP yang akan disahkan itu salah satunya karena belum mengakomodir hak-hak perempuan yang berhadapan dengan hukum, baik sebagai korban maupun tersangka.
"18 LBH APIK di Indonesia yang bergabung dalam Asosiasi LBH Apik, telah menolak pengesahan RKUHAP," kata Ansi.
Ansi mengatakan, secara nasional beberapa waktu lalu LBH APIK juga hadir dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi III DPR RI untuk memberikan input-input. Namun kenyataannya tidak semua input itu diterima dan kami menemukan bahwa substansi yang dihasilkan itu memang belum sepenuhnya memenuhi rasa keadilan dari publik.
"Karena itu kami mengajak kita semua untuk melihat RKUHAP ini. Alih-alih dia memberikan perlindungan bahkan sebenarnya dalam temuan di dalam daerah itu sendiri saya kira justru punya potensi makin menggiring posisi dari kelompok rentan, kelompok perempuan yang berhadapan dengan hukum (PBH) itu baik dia sebagai pelaku, korban maupun saksi dalam sisi peradilan pidana Indonesia, ini dia makin termarginalisasi," kata Ansi.
Ansi mengatakan, ada catatan usulan yang diberikan asosiasi LBH APIK saat bertemu dengan Komisi III DPR RI.
Pertama, soal pengadaan assessment dan pengupayaan dukungan rujukan fasilitas pada perempuan dan kelompok rentan. Kedua, soal pengadaan dukungan khusus bagi penyandang disabilitas sesuai dengan kebutuhannya yang dapat kita lihat di dalam KUHAP.
Assesment kerentanan dan dukungan atau rujukan fasilitas bagi penyandang disabilitas juga diterapkan pada setiap tahap dan sistem peradilan pidana.
Lebih lanjut Ansi mengatakan, APIK juga mendorong agar KUHAP mengatur norma yang secara eksplisit di dalam ayat dan bukan hanya di dalam penjelasan pasal.
misalnya, terkait penggeledahan terhadap perempuan yang berhadapan dengan hukum tidak disebutkan dengan jelas.
"Seorang perempuan hanya boleh digeledah oleh petugas perempuan, bukan laki-laki. Dan tanpa aturan yang tegas seperti ini, saya kira perempuan akan tetap berada dalam posisi yang rentan dan tidak memiliki dasar hukum untuk menolak penggeledahan yang sekira berpotensi akan melanggar harkat dan martabatnya," kata Ansi.
Hal lainnya terkait penahanan bagi perempuan yang sedang hamil ataupun yang perempuan yang sementara menyusui.
"Saya kira perempuan hamil rentan mengalami gangguan kesehatan sehingga ruang tahanan tentu akan berisiko tinggi bagi keselamatan perempuan dan bayinya. Kemudian juga perempuan yang menyusui juga mudah terpengaruh secara psikologi dan akan berdampak pada kesehatan si bayi. Anak-anak membutuhkan asupan gizi. Oleh karena itu, kondisi kehamilan seharusnya menjadi pertimbangan untuk melakukan penangguhan penahanan atau alternatif penahanan, misalnya tahanan rumah atau tahanan kota," kata Ansi.
Hal lainnya terkait hak perempuan untuk didampingi saat berhadapan dengan hukum.
Termasuk hak-hak paralegal untuk mendampingi korban.
"APIK mendesak kepada DPR untuk mempertimbangkan kembali masukan dari masyarakat terutama dalam akses perlindungan dan pemenuhan hak bagi kelompok rentan diantaranya perempuan yang berhadapan dengan hukum. Yang kedua, kami juga mendesak sebenarnya kepada teman-teman di DPR khususnya untuk memasukkan klausul kewajiban atau mandatory obligation bagi seluruh pendegak hukum dalam menjalankan assessment dan mengupayakan dukungan atau rujukan bagi perempuan dan kelompok rentan termasuk juga dalam konteks dukungan fasilitas ya bagi teman-teman penyandang disabilitas sesuai dengan kebutuhan dalam setiap tahapan di dalam sistem peradilan idana di Indonesia dan api terakhir juga mendesak agar pemerintah dan DPR juga harus mampu mengakomodir usulan-usulan kami terkait dengan pelibatan pihak lain dalam gelar perkara karena terkait dengan penggeledahan terhadap perempuan. Kemudian penangguhan penahanan bagi perempuan yang sedang hamil dan menyusui dan memasukkan kembali para legal sebagai pendamping korban," kata Ansi.
Ketua panitia diskusi komperehensif, Ester Day, SH yang adalah pengacara itu mengatakan, Negara Indonesia adalah negara hukum, dimana konstitusi Indonesia telah memberikan jaminan pada setiap warga negara, termasuk hak di bidang hukum.
Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang KUHAP, menjadi tonggak pembaruan sistem peradilan pidana pada masanya.
Tetapi berbagai evaluasi menunjukkan bahwa substansi dan mekanisme yang diatur di dalamnya sudah tidak relevan dan tidak memadai untuk merespon dinamika sosial, teknologi, dan juga penegakan hukum kontemporer, serta kompleksitas bentuk kejahatan modern, tuntutan pemenuhan hak-hak warga negara,.serta kebutuhan harmonisasi kewenangan negara.
Dan antar lembaga penegak hukum menjadi faktor pendorong utama sehingga perlu adanya reformasi hukum acara pidana.
Kondisinya ini memaksa pemerintah untuk merubah atau mengganti KUHAP lama. Tanggal 18 November 2022, DPR resmi mengasahkan revisi KUHAP menjadi UU, yang rencananya akan berlaku bersama-sama dengan KUHAP pada tanggal 2 Januari 2026 ke depan.
Semangat KUHAP yang baru menurut Kemenkum ada beberapa hal yang menjadi bahan pertimbangan
salah satu diantaranya itu keterbatasan KUHAP 1981 berkaitan dengan alat bukti elektronik, digital forensik, sistem perkara yang berbasis teknologi.
Yang berikut juga penguatan pelindungan HAM mengharuskan hadirnya instrumen hukum acara pidana.
Yang dapat menjadikan hak-hak tersangka, terdawa maupun korban secara seimbang.
Bagi Ester, diskusi dengan APH ini bermanfaat untuk mengukur efektifitas penerapan pasal-pasal krusial dalam KUHAP terkait dengan hak tersangka dan perundangan penegak hukum.
Termasuk memetakkan masalah praktis yang dihadapi advokat dalam berhadapan dengan penyidik dan penuntut umum serta sebaliknya.
Juga untuk merumuskan rekomendasi bersama untuk meminimalisir gesekan antara instansi penegak hukum.
Diskusi ini menghadirkan narasumber utama Dr. Mikhael Feka, SH, MH dengan
fasilitator Dany Manu dan Joan Puput Riwu Kaho, SH,MH. (vel)
Berita medkomsubangnetworkLainnya di Google News