Semangat Baru Tanpa Keluh Kesah

Semangat Baru Tanpa Keluh Kesah

Oleh: Mukhlis Mustofa

Pengajar di Program Studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD) Universitas Slamet Riyadi (UNISRI) Surakarta.

TANPAMomen dimulainya tahun ajaran baru ini diwarnai dengan berbagai macam tanggapan.

Dimulainya tahun ajaran baru di Indonesia disambut dengan berbagai harapan dan antusiasme yang tinggi, baik oleh siswa maupun orang tua.

Kekacauan yang terjadi selama proses PPDB, pemilihan seragam, dan berbagai tuntutan pembelajaran kini mereda seiring dimulainya tahun ajaran baru.

Awal tahun ajaran baru seharusnya menjadi fondasi penting untuk pembelajaran selama setahun ke depan.

Meningkatkan kualitas pembelajaran agar lebih relevan dan berarti seharusnya menjadi fokus utama bagi semua pihak yang terlibat.

Kebetulan, permulaan tahun ajaran baru bertepatan dengan periode awal tahun Hijriah.

Integritas moral dalam pendidikan perlu dihargai, baik oleh penyelenggara maupun peserta didik, demi menciptakan pembelajaran yang efektif.

Dampak dari kondisi ini patut diperhatikan, terutama karena tahun ajaran baru yang seharusnya menjadi titik awal pembelajaran, kini hanya dianggap sebagai formalitas belaka dalam dunia pendidikan. Padahal, tujuan utama untuk mencerdaskan generasi penerus belum sepenuhnya tercapai.

Seharusnya, permulaan tahun ajaran baru bisa dimanfaatkan sebagai titik awal pembelajaran untuk setahun ke depan.

Kenyataan yang sering ditemui di masyarakat adalah akses pendidikan sangat bergantung pada kemampuan finansial, yang sayangnya seringkali tidak sejalan dengan kualitas pendidikan itu sendiri.

Fenomena pendidikan yang telah diuraikan sebelumnya menimbulkan pertanyaan penting: bagaimana seharusnya tahun ajaran baru ditempatkan dalam upaya memajukan pendidikan secara menyeluruh?

Kerinduan akan pembelajaran langsung di kelas sangat dirasakan oleh semua pihak yang terlibat dalam dunia pendidikan, mulai dari guru, murid, hingga para orang tua.

Gambaran keunggulan pembelajaran tatap muka seakan menunjukkan betapa sekolah telah menyihir segenap elemen publik.

Awal mula pembelajaran menjadi wacana menarik di negeri dalam beragam ranah.

Fenomena ini nampaknya sudah diprediksi dengan karya best seller Roem Topatimasang, "Sekolah Itu Candu" medio 1998.

Buku berisi hakikat peserta didik terbius dengan sekolah sehingga tidak jarang melupakan fenomena sosial di sekelilingnya perlahan-lahan mulai menuai hasilnya.

Khalayak negeri ini nampaknya sedemikian akut sudah terjangkiti candu sekolah ini sehingga seluruh hakikat kualitas pendidikan berpusat pada sekolah.

Merujuk definisi sekolah dalam pembukaan buku tersebut, dinyatakan sekolah berasal dari etimologis Yunani Skhole, Scola, Scolae, atau Schola yang secara harfiah berarti waktu luang atau waktu senggang—terjemah: waktu senggang untuk belajar.

Dalam situasi pascapandemi ini, sekolah seharusnya tidak hanya hadir sebagai institusi formal, tetapi juga tercermin dalam setiap aktivitas sehari-hari.

Masyarakat masih dibuat tercengang oleh penyelenggaraan sekolah selama ini yang penuh dengan formalitas dan menghambat kebebasan belajar. Akibatnya, saat pandemi datang, masalah formalitas sekolah lebih menonjol dibandingkan substansinya.

Pendidikan yang paling mendasar dan esensial seharusnya menjadi tanggung jawab penuh orang tua, yang dengan tulus memberikan pengajaran dan menanamkan ilmu pengetahuan kepada anak-anak mereka.

Akan tetapi, esensi luhur tersebut gugur akibat sistem penyerahan total, yang membuat orang tua merasa "terkurung" oleh cara pandang kebijakan pendidikan selama ini, seperti yang sempat terjadi di masa pandemi.

Daya tarik sekolah yang memukau ini mengarahkan pengelolaan pendidikan untuk memaksimalkan waktu siswa dalam kegiatan belajar formal.

Konteks sosiologis yang perlu dibangun sangatlah gamblang: sekolah, sebagai bagian dari budaya masyarakat, idealnya memicu perkembangan budaya saat ini, bukan mengarahkan opini pada kebenaran mutlak.

Menurut pandangannya yang tajam, sekolah bukanlah satu-satunya faktor penentu dalam pembentukan karakter suatu bangsa.

Sudut pandang seperti inilah yang perlu diluruskan oleh semua pihak agar kesetaraan peran menjadi fokus utama, bukan memperpanjang perdebatan tentang pendidikan tanpa akhir.

Proporsionalitas Pendidikan

Pandangan ini semakin menguat, terutama karena pendidikan di Indonesia lebih fokus pada kemeriahan acara daripada substansi yang sebenarnya, sehingga hasilnya jauh dari yang diharapkan.

Masalah ini sebaiknya diatasi dengan bijak, tanpa hanya memaksakan satu model pendidikan tertentu.

Penting untuk mengimplementasikan pembelajaran yang relevan dengan konteks lokal sebagai bagian dari pembentukan budaya baru, agar sekolah tidak menjadi satu-satunya fokus pendidikan di seluruh Indonesia.

Keterlibatan aktif dari semua pihak yang mendukung pendidikan adalah tugas yang harus dilakukan secara bersamaan oleh semua orang.

Memaksakan satu elemen dalam metode pembelajaran justru dapat menghambat kemampuan berpikir sosial dari mereka yang belajar.

Keseimbangan peran antara kedua pihak penting untuk membangun hubungan yang kondusif, sehingga pembelajaran menjadi lebih bermakna.

Pola pikir ini membuat praktik 'pasrah bongkokan' di institusi pendidikan sangat mungkin untuk terus diterapkan.

Relasi orang tua dengan sekolah sebagai salah satu lembaga pembentuk karakter selayaknya diberlakukan dengan kesamaan peran pengembangan.

Keterlibatan orang tua dapat diwujudkan melalui peran aktif mereka dalam memberikan dukungan yang cukup sebagai bagian dari implementasi pembelajaran yang dilakukan secara kolaboratif.

Langkah konkret ini secara tidak langsung akan membelajarkan orang tua siswa pada penekanan hakikat pembelajaran sebagai proses sinergis berkelanjutan demi kebermaknaan peran.

Pendidikan sebagai usaha sadar manusia untuk kebermaknaan hidup haruslah memperhatikan bagaimanakah manusia yang akan melaksanakannya.

Mainstream Pendidikan

Ketergantungan pada sistem pendidikan dimulai dari cara pandang kita terhadap layanan pendidikan selama ini.

Mainstream pendidikan hingga saat ini masih simpang siur dan pola yang berlaku bersifat sedemikian bias.

Parahnya, konstruksi publik selama ini berada di zona nyaman manakala menyikapi pendidikan, terutama penyelenggaraan sekolah.

Idiom yang muncul: jika anak berhasil dalam pendidikan, “siap dulu dong orang tuanya.” Namun manakala sang anak bermasalah dalam pendidikan, “siapa sih gurunya?”, “bersekolah di mana sang anak?”

Kontrol sosial pada sekolah pun lebih pada mekanisme balas dendam penyelenggaraan.

Neil Postman dalam The End of Education menyoroti sekolah sedemikian jumud pada perkembangan sehingga kebaruan dan pencerahan tidak kunjung tiba.

Hal inilah yang terkadang dilupakan pihak terkait. Orang tua menganggap sekolah sebagai bengkel, publik sangat berharap sekolah indah, namun laku edukatif tidak diupayakan.

Publik lebih rewel pada permasalahan bangunan sekolah yang mengganggu tampilan kenyamanan kampung, sementara orang tua sangat nyinyir pada pembiayaan yang membumbung.

Pertemuan orang tua di sekolah sendiri diemohi karena dipersepsikan sekadar penarikan dana kegiatan.

Pada akhirnya, setiap kejadian langsung mereka sebarkan secara luas di internet. Penegasan arus utama ini sangat penting karena kebijakan pendidikan apa pun yang diambil akan menjadi sangat tidak jelas jika pandangan umum belum ditegaskan.

Pendidikan yang relevan dengan realitas sosial menjadi kebutuhan mendesak di tengah kompleksitas masalah yang dihadapi masyarakat saat ini.

Sekolah, sebagai sebuah metode pembelajaran, tidak otomatis membereskan permasalahan pendidikan di Indonesia jika tidak ada kesadaran kolektif untuk mengelola pendidikan secara membangun.

Keseimbangan relasi antara kedua pihak merupakan suatu keharusan tak terhindarkan dalam tata kelola institusi pendidikan yang modern.(*)

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama